Biarlah angin menghembuskan pada sisa jejak-jejak langkah, pada batas lorong-lorong waktu, dan menyisakan relung sunyi, menapaki tanah, kembali.
Sore hari, seusai hujan reda, udara beranda rumah semilir tanah basah. Sore ini aku hendak ke basecamp diksar teman-teman Mahasiswa Pecinta Alam (MPA) Mahameru.
Setelah packing keperluan secukupnya untuk 3-4 hari ke depan, aku melaju dengan kendaraan motor. Sendiri.
Untuk kedua kalinya, diksar dilaksanakan di tempat yang sama, tepatnya di Bukit Sikunci, Kajoran, Kaliangkrik. Letak rumah basecamp berada di perbatasan jalan utama antara Magelang-Wonosobo, tepatnya di Pasar Kajoran.
Di pasar ini, kami biasa makan soto, es buah, dan milung (mie balung). Selain murah, kuah soto cukup kental karena menggunakan santan. Es buah murah yang tak kalah segar dan enaknya. Begitu pun milung.
Aku sempat bertanya-tanya singkatan dari milung. Ada yang berkelakar mie pelung. Pelung adalah nama rimba Priyo Utomo. Kalau mau diusut, memang perawakannya mirip ayam pelung. Hitam dan tinggi besar. Namun, rupanya mie ayam tersebut menggunakan balung (tulang). Mungkin kalau orang Sunda mengiranya mie alung. Artinya, mie yang dihidangkan ke dalam mangkuk dengan cara di-alung (dilempar).
Kabut tipis turun pelan-pelan melembabkan udara sore menuju petang. Aku tiba kala magrib mengambang. Lirih berkumandang suara azan. Sudut-sudut pemukiman warga desa yang menyepi. Perlahan serangga malam mulai bergeming dengan suaranya. Di jendela, aku melihat anak-anak kecil berbondong di tepian jalan, melewati rumah menuju masjid dengan pakaian rapi dan berpeci, hendak sembahyang dan mengaji bersama.
Mas Sidiq, salah satu seniorku, rupanya baru juga sampai, tak lama berselang sesampainya aku di basecamp. Ia tengah bersiap menuju titik lokasi siswa flying camp 3. Di luar, hujan kian turun dan menderas. Aku dan Mas Sidiq memutuskan untuk sembahyang magrib terlebih dulu sambil menunggu hujan reda.
Bau kemenyan udara masjid dan sudut-sudut pemukiman warga menyumbat pada hidung dan menambah harum segar di kepala. Setelah menepi dan tinggal paruh waktu di Pondok Kaliopak, aku cukup akrab dengan wangi bau kemenyan dan dupa. Hal itu tidaklah semata-mata wangian mistis, namun untuk menambah aroma segar pada raga di kala malam tiba, setelah beraktivitas laku harian. Aroma wewangian dupa juga sebagai etika luhur, untuk menghargai dan memberi wangi pada mahkluk hidup lain. Hari telah senja. Malam hari pun tiba. Waktunya manusia istirahat bersama keluarga. Janganlah takut akan gelap, karena gelap melindungi dari rasa lelah, agar kau terjaga menuju pagi kembali.
Sembahyang magrib dengan lampu-lampu yang temaram. Hujan masih gemericik. Warga beribadah jamaah selepas semua orang pulang dari ladang, lembah, dan berdagang. Aku bermakmum tepat di belakang kiri mihrab imam.
Seusai sembahyang magrib, aku menuju basecamp kembali. Mas Agung baru saja tiba. Ia sedang meregangkan kaki usai berkendara dari Jogja sambil meminum air hangat untuk tubuhnya yang mulai mendingin. Sementara, aku dan Mas Sidiq menyiapkan barang yang hendak kami bawa. Kami bersiap berjalan menuju titik lokasi diksar, flying camp 3.
Hujan di luar jendela masih saja merintik berbalut kabut malam. Kami memutuskan untuk berjalan meski kondisi hujan. Tak lupa, masing-masing mengenakan jas hujan. Kami melewati area masjid. Ketika melewati gang-gang kecil pemukiman warga, sepintas aku melihat anak-anak kecil sedang mengaji di madrasah yang lusuh. Al-Qur’an yang bertumpuk nan lusuh pula.
Suara-suara nadam dan salawat mengingatkanku pada masa itu. Aku belajar pada guru ngaji di surau saat seumuran mereka. Aku sempat berkaca-kaca saat melewati anak-anak itu. Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah rombonganku yang tengah berjalan menuju pintu masuk hutan, menyusuri jalan setapak yang licin berbatu. Suasana gelap menyisakan gemericik suara hujan pada batu dan aliran sungai.
Di persimpangan jalan yang bercabang, di sebuah area terbuka, Ikhsan yang memimpin perjalanan menunjuk ke arah cahaya lampu flying camp yang terlihat samar dan temaram. Kami beristirahat sejenak. Celana Mas Sidiq basah kuyup karena tidak terlindungi jas hujan, hanya mengandalkan jaket oranye kebanggaan MPA Mahameru. Ia bangga karena jaket itu banyak tempelannya setelah dikenakan sepanjang ekpedisi tiga gunung tertinggi di Jawa; Slamet, Ciremai, dan Semeru. Kami menamakannya Scientific Expedition Triarga Jawadwipa. Meski tinggal menyisakan Semeru, ekpedisi itu masih terbengkalai hingga sekarang. Oleh sebab itu, aku jarang mengenakan jaket itu kecuali dalam acara-acara resmi organisasi.
Setelah berjalan menyusuri punggungan lereng Bukit Sikunci, kami tiba di fly camp 3. Kontur lokasinya berundak dengan jajaran pohon pinus. Suasana keras menyelimuti siswa yang tengah ditempa oleh para instruktur.
Sejenak sampai, aku merebah sambil mengamankan barang-barang yang dibawa ke flying camp. Minum air dan menghisap sebatang sigaret premium. Cuaca mereda meski masih berair dari kabut. Tak lama kemudian malam merekah, membukakan panorama langit, menampilkan sedikit bintang-bintang. Kerlap-kerlip cahayanya menandakan cuaca sepertinya akan cerah meski tidak ada yang pasti untuk cuaca gunung saat ini. Sigaret kretek premium sejenak kunikmati bersama. Bercengkerama sembari sejenak meregangkan kaki.
Aku berjalan melihat aktivitas teman-teman instruktur lainnya. Sementara itu, peserta diberi jeda untuk menghangatkan tubuh setelah diguyur hujan seharian di hutan.
Setelah menghabiskan sigaret, peserta dipencarkan satu persatu. Kemudian aku menyambangi satu peserta didik, aku menanyakan namanya, asalnya, dan mengapa ia mau ikut pendidikan dasar MPA Mahameru. Sambil mengumpulkan ranting-ranting, aku mengajarkan siswa itu teknik menyalakan kayu dalam kondisi basah. Aku berikan pengetahuan bahwa getah pinus bisa tetap menyala meski dibakar dalam kondisi basah.
Senyapnya malam bergemuruh
Dilaut batin yang keruh,
Sajak-sajak nyanyian tentang sinar
Berharap kembali terlahir terang
Udara malam kian mendingin. Pukul sepuluh malam, siswa dipersilakan beristirahat. Tidur di bivak kelompok. Lalu, aku kembali ke flying camp. Aku melihat kawan-kawan instruktur sedang bercengkerama hangat. Mengerumuni bongkahan api unggun kecil. Berceloteh gaya urakan sambil mengeringkan pakaian yang basah, terutama kaos kaki yang sedap baunya dipanasi asap kayu.
Di penghujung aktivitas, kami melakukan evaluasi bersama dan merancang agenda kegiatan untuk hari berikutnya. Malam melarutkan kami dengan kabut yang kembali datang, menandakan hujan akan tiba. Lalu kami pindah. Masuk ke dalam flying camp dan tenda. Hanya menyisakan suara rintik hujan di luar sana, kepulan asap bekas api yang terkepul, hingga akhirnya terlelap tidur. Sementara, aku masih terduduk diam karena malam ini tugasku berjaga dan mengontrol siswa hingga esok pagi pukul 04.15. Selamat malam, kawan-kawan Mahameru! Selamat beristirahat!
Gelap dini hari masih diselimuti sisa-sisa kabut malam. Udara embun pagi mulai terasa menetes pada percikan-percikan daun dan atap jendela tenda. Aku beranjak untuk mengondisikan para siswa diksar. Sejenak sebatang sigaret premium kuhisap pelan untuk daya penawar rasa dingin. Aku bersama instruktur Genjot membangunkan siswa, menyuruh mereka menggerakan tubuh. Berolahraga dan memasak hasil latihan survival kemarin. Tubuh harus bergerak dan beraktivitas agar tidak terserang dingin.
Pagi perlahan menepi, cahaya matahari mulai terlihat menyorot di sela-sela pohon. Pukul tujuh pagi, siswa akan diberangkatkan menuju flying camp 4. Instruktur Cebong, Bangkong, dan Mondo muncul menghampiri. Mereka bertiga membawa makan pagi untuk kawan-kawan instruktur. Kami duduk tak beraturan. Bercengkrama, bercerita dengan sorai kelakar. Menu makan pagi dijejer di atas kertas nasi yang dialasi matras.
“Selamat makan. Terima kasih, Mahameru, jasamu abadi,” demikian ritual ucapan kami setiap memulai makan bersama.
Usai makan pagi, kami berkemas merapikan bekas-bekas yang akan kami tinggalkan. Setiap hari, layaknya kaum nomaden, kami berpindah tempat dari flying camp satu ke flying camp selanjutnya. Beberapa instruktur menemani siswa berjalan menuju flying camp 4, sisanya turun ke basecamp untuk bergantian waktu istirahat dan menyiapkan shelter di flying camp 4 pukul dua siang.
Kami turun melewati jalur yang berbeda dari yang semalam aku lewati. Kali ini melewati lembah yang cukup curam, sampai pada akhirnya bertemu sungai. Aliran air yang melambai, deras mengalun dan jernih layaknya oase segar. Ingin rasanya mandi di sungai seperti ketika masa kecil dulu. Masa ketika tak ada sesak di dada yang menyumbat pada aliran kepala. Rasa-rasanya, aliran air sungai itu bisa mengalirkan segala hal yang memberat dan keruh agar kembali jernih.
Di perjalanan menuju basecamp, sesekali kami bertemu warga yang sedang beraktivitas di lembah; mengambil kayu bakar, bercocok tanam, dan memanggul rumputan ilalang dari hutan untuk pakan ternak mereka di rumah. Sepintas aku merasakan kasihan. Namun, mereka nampak senang dengan aktivitas hariannya.
Seperti ada yang keliru dalam caraku melihat fenomena itu. Aku merasa berjarak dengan mereka, layaknya dalam frasa aku dan mereka. Entah karena aku sudah lupa pada asalku yang juga bagian dari mereka, atau karena sekolah yang telah membentukku hingga punya cara pandang seperti itu.
Benar kata Pramoedya, “Rasa kasihan sudah menjadi kemewahan baru untuk kita.” Ia semacam rasa elitisme baru yang membentuk dalam stratifikasi sosial. Tidak ada lagi pertautan rasa antara petani yang menanam, pedagang yang menjual, dan kami yang mengonsumsi. Semuanya berjarak sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Lalu, apa gunanya Pancasila dibakuhantamkan oleh negara hingga memakan ongkos politik dan kemanusiaan yang sia-sia. Toh, dasar dari Ekasila, gotong-royong, sudah tidak terjadi. Namun, petani tetaplah petani. Tanpa peduli apa yang terjadi, ia menanam harap pada bumi. Filosofi hidup padi.
“Stop complaining!”
said the farmer.
“Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with,
Like the swallow so proud and free ?”
– John Baez
Sesampainya di basecamp, sejenak kami meregangkan kaki sambil menjemur kaos kaki dan sepatu yang basah. Merokok sembari berjemur di teras basecamp yang menghadap langsung ke jalan utama. Matahari pagi hari ini menyingsing, cukup untuk menghangatkan tubuh dan menemani obrolan-obrolan kami sambil melihat-sapa lalu lalang warga, anak-anak sekolah yang tengah berlarian, juga pedagang kaki lima di halaman sekolah. Kami punya waktu empat jam untuk istirahat, buang air, mandi, makan, dan rebahan. Lalu, kami merebah dan tertidur. Sejenak saja.
Di kala waktu zuhur tiba, langit kembali meredup. Kabut tipis yang turun dari lembah perlahan mengitari pemukiman. Pak Taka datang sendirian. Tak berselang lama, Mbak Dika mengeluarkan beberapa helai kain troso, produk dari tanah Jepara, lalu dibagikan pada teman-teman Mahameru. Hujan pun kembali menggemericikan airnya.
Pak Taka adalah senior kami, Mahameru angkatan kelima. Seangkatan dengan Mbak Dika yang duduk di sampingnya. Tampangnya sangat garang, namun nuraninya halus. Selain men-support dalam urusan perlengkapan yang dibutuhkan diksar, Pak Taka selalu menyempatkan hadir. Begitupun dengan Mba Dika. Setiap tahunnya, ia selalu diundang dan mengikuti rangkaian kegiatan diksar sedari awal hingga diakhiri pelantikan.
Tahun lalu, satu hari setelah diksar, Mbak Dika mampir di sekretariat setelah membeli nutrisi buku sastra di Togamas, masak-masak, dan bermain judo. Kali ini, Mbak Dika membeli buku puisi Joko Pinurbo dan novel Oka Rusmini.
Sebelum mengenal Oka Rusmini, Mbak Dika sudah akrab dengan karya sastra NH Dini yang sama-sama tinggal di Semarang. Tahun lalu, Mbak Dika bercerita perihal meninggalnya NH Dini. Berawal dari sebuah kecelakaan lalu lintas dengan mobil yang dikendarainya.
Dari Mbak Dika pula aku mengenal nama Oka Rusmini, seorang perempuan Bali yang menulis novel yang tengah ia baca, Tempurung. Kajian sastra antropologisnya cukup memikatku untuk membaca karya-karyanya dalam bentuk novel lainnya.
Dari Oka Rusmini, aku mengenal Saras Dewi yang sama-sama berasal dari Bali. Ia seorang dosen di departemen filsafat UI. Kajian besarnya bergerak dalam perjuangan ekofeminisme. Ia mengritik pandangan hidup antroposentris manusia modern yang telah menciptakan kerusakan dalam bentuk ekploitasi alam. Hal itu dianggapnya budaya patriarkis yang melekat pada laki-laki. Begitu kira-kira.
Menjelang pukul dua siang, kabut menyelimuti kembali, turun dari lembah-lembahnya yang dingin. Mas Akuntomo tiba-tiba muncul dari balik pintu basecamp. Rupanya, mobil yang dikendarainya sudah terparkir di pinggir jalan. Ia datang dan berkunjung bersama istrinya. Kami memanggilnya Mbak Dayu. Nama aslinya Ida Ayu Inten, seorang perempuan brahmana Bali. Ia menikah dengan laki-laki Jawa, lintas etnik dan agama. Tiada masalah di saat cinta itu hadir bersemayam dalam sanubari manusia. Mereka pasangan baru menikah. Keduanya memiliki hobi yang sama, traveling dan mendaki gunung. Kami mempersilakan mereka berdua untuk masuk. Sekadar untuk berbincang ringan dengan kehangatan.
Udara masih menyisakan kelembaban. Pukul dua siang ini kami harus menuju flying camp 4. Kami berkemas dan mempersiapkan diri untuk berangkat. Kali ini lokasinya bisa diakses dengan menggunakan kendaraan motor terlebih dulu, lalu berjalan kaki menanjak lima menit saja.
Di tengah jalan, ketika berkendara, hujan turun deras. Seketika kami menepi di pekarangan masjid. Niatnya menunggu hujan sedikit mereda, namun cukup lama. Lalu kami memutuskan untuk tetap melaju ke lokasi dengan mengenakan jas hujan. Sesampainya di flying camp 4, hujan masih belum reda. Flying camp 4 cukup rapat dengan pohon pinus dan rumput ilalang hutan sehingga kami sedikit terlindungi dari deras air hujan. Sementara itu, siswa masih dalam penempaan dari para instruktur. Kali ini, mereka baru usai memasang bivak individu untuk tidur malam nanti.
Menjelang magrib, hujan mulai mereda. Di pekarangan shelter bivak, kami membuat bakaran kecil kayu untuk sedikit menghangatkan tubuh. Teman-teman melingkar mengitari api sembari bertukar cerita. Kayu basah masih bisa dinyalakan dengan cara mengambil bagian tengahnya yang kering setelah dipapas dengan pisau tebas. Malam yang sendu. Hutan yang dingin dengan batang-batang pohon pinus di setiap sudut gelap. Masih kuingat tahun lalu, saat aku tidur di antara dua pohon pinus dengan menggunakan hammock. Cahaya langit kala itu sedang purnama. Sedikit awan hitam tipis yang lalu lalang melewati rembulan. Sejenak rembulan itu meredup, kemudian merekah kembali hingga menidurkan kami yang tengadah ke langit.
Karena malam ini adalah malam terakhir, siswa akan dievaluasi. Semacam ujian terkait materi-materi yang sudah diberikan; IMPK, tali temali, survival, dan sebagainya. Setelah evaluasi usai, siswa ditempa sampai habis, dilanjutkan makan malam hasil survival, lalu istirahat.
Keesokan harinya, pukul dua pagi, siswa dibangunkan dan ditempa kembali. Kemudian mereka digiring berjalan menuju tempat pelantikan.
Pukul empat pagi, upacara pelantikan dilakukan. Kali ini di area curug air terjun. Acara pelantikan dilakukan dengan khidmat karena ia cukup sakral. Kami masih melaksanakannya dengan upacara kecil. Menyanyikan lagu Hymne Mahameru, lagu Syukur, lalu disirami air bunga, mencium bendera Merah Putih dan Mahameru. Suasana hening bergeming dan haru karena tidaklah mudah melewati hari-hari selama pendidikan dasar. Yang mengikuti dan melewatinya adalah langkah besar untuk dirinya. Lalu, kawan-kawan instruktur menyalami satu persatu siswa. Mereka terkulai dengan haru. Sambil berucap selamat sudah menjadi bagian dari keluarga MPA Mahameru. Teruslah ber-Mahameru! MPA Mahameru adalah tempat belajar mengenal rumah, rumah Indonesia! Menjadi Mahameru adalah menjadi Indonesia!
Mahameru kutapakkan kaki
Menyusuri gunung rimba
Berderap tangguh dan bersatu
Jiwa sukma tridharma
Menjaga kesatuan
Bumi hijau pertiwi
Berjuanglah
Berkorbanlah
Untuk kejayaan
Berpetualang
Demi panji-panji Mahameru.
Seusai pelantikan, kami bersorak-kelakar dengan tawa lepas di depan siswa. Kami menceburkan diri ke sungai curug air terjun, menuntaskan rasa lelah sambil bermain air. Wajah para instruktur tertawa lepas. Tidak ada lagi wajah garang kawan-kawan instruktur seperti selama diksar berlangsung. Wajah-wajah yang layaknya hyena bermuka harimau. Mata- mata tajam seperti elang. Licin dan luwes bagaikan ular. Bukan tanpa sebab, itu semua karena jiwa-jiwa yang ada di MPA Mahameru adalah jiwa-jiwa yang hidup. Tubuh mereka layaknya semesta bumi kecil yang peka dan jeli melihat setiap keadaan. Singkatnya, Mahameru bukan tempat jiwa-jiwa yang kering kerontang layaknya kadal haus di gurun fatamorgana. Haha…
Usai itu semua, kami makan pagi dengan menu opor ayam. Semacam bahasa kalbu instruktur kepada para siswa yang melewati tiga hari dengan menu survival. Hanya dibekali beberapa batang korek untuk keperluan memasak dan bertahan hidup. Selesai makan, seperti biasa, kami foto bersama. Posisi siswa di tengah paling depan sambil memegang bendera Mahameru. Setelahnya, berswafotoria, ber-selfie, and the end, foto per angkatan.
Syukur kami sembahkan
ke hadirat-Mu, Tuhan.