Situasi Pandemi, Saatnya Mengalamkan Alam

Kebiasaan saya ikut nimbrung dengan masyarakat (srawung) sering kali membuat saya mendapatkan kabar-kabar mengejutkan. Tak jarang, beragam keluh kesah menjadi bumbu manis perbincangan.
Seperti ketika saya belanja di pasar, atau saat membeli bahan pokok makanan di warung-warung kecil pinggir jalan. Seperti biasa, sembari memilih barang, muncul perbincangan spontan dengan banyak pedagang, terutama berkaitan dengan situasi sosial ekonomi di kala pandemi COVID-19 ini. Sekilas dapat saya potret dari beberapa orang yang saya temui di pasar dan toko, muncul rasa was-was, ketidakpastian, terhadap melambatnya ekonomi di kala pandemi saat ini.
Secara pribadi, saya melihat memang terjadi perubahan yang sangat signifikan di pasar tradisional hari-hari belakangan ini. Salah satu pedagang di pasar Giwangan, pasar induk terbesar di kota Yogyakarta, menyatakan, “Di waktu pandemi saat ini, penjualan memang tidak menentu. Meskipun pasar tidak akan ditutup, namun jumlah penjualan menurun drastis. Imbauan untuk selalu di rumah saja membuat banyak pembeli membatasi tatap muka secara langsung. Banyak juga warung-warung makan yang selama ini banyak pelanggan, kini menutup warung karena sepinya pembeli.”
Selain ke pasar induk, hal yang sama terjadi di pasar yang lebih kecil, yakni pasar desa/dusun. Meskipun sirkulasi ekonomi di pasar seperti ini tidak begitu besar, namun kelokalan dan cakupan aktivitas ekonomi yang hanya melibatkan masyarakat sekitar sepertinya bisa menjadi representasi masyarakat paling bawah. Seperti apa sebenarnya aktivitas ekonomi sosial bergerak dan nantinya akan berjalan.
Sama seperti di pasar Giwangan, beberapa pasar dusun tetap buka meski tidak sepadat biasanya. Beberapa ruang terlihat kosong. Aktivitas jual beli yang biasanya riuh rendah dengan tawar menawar ibu-ibu pasar kini senyap. Yang muncul justru keluhan dan ratapan.
Salah satu ibu penjual sembako mengatakan tanpa saya tanya, “Yo ngéné iki, Mas. Pasaré sepi. Apa-apa larang. Nèk ngéné iki terus tekan bada, ra ngerti bakalé kepiyé.” (Ya seperti ini, Mas. Pasarnya sepi. Semuanya mahal. Kalau begini terus sampai lebaran, tidak tahu nanti bagaimana.)
Mendengar keluhan tersebut, saya rasa situasi seperti ini memang masa  penuh ketidakjelasan dan ketidakpastian. Wabah korona, yang pertama kali muncul di Wuhan dataran Cina, akhirnya terasa dampaknya hingga unit terkecil masyarakat kita. Tidak semata dampak virusnya yang sangat berbahaya. Namun, adanya skenario sosial untuk menanggulangi penyebaran wabah korona ini juga berefek kepada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dan, itu nyata adanya.
Kalau benar dugaan Martin Suryajaya di salah satu esainya, bahwa di situasi seperti inilah akhirnya sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi saka guru sistem ekonomi kita akan mengalami kebangkrutan. Berdasar pada hukum pergerakan yang menjadi jati diri sistem kapitalisme, maka dengan adanya pembatasan-pembatasan sosial yang ada sekarang hal tersebut bisa sangat terjadi. Dengan empat argumen yang ia sodorkan: deindustrialisasi, definalisasi, diskoneksi fisik serta pelokalan global, keempat kriteria tersebut menurut Martin akan mengarahkan situasi saat ini menuju sosialisme ataupun babarisme yang amat menakutkan.
Bagi saya sendiri, terlepas para pengamat dengan analisisnya yang beragam dan cukup logis tersebut, gejala-gejala sosial ekonomi di masa-masa sulit saat ini justru bisa menjadi pelajaran penting bagi kehidupan umat manusia ke depan.
Pertanyaannya, dengan ditutupnya banyak fasilitas umum, tersendatnya laju perekonomian, dan begitu mudahnya manusia ambruk terhadap wabah ini, dan itu terjadi di hampir seluruh dunia, masihkah kita merasa digdaya dengan kemanusiaan kita? Tidakkah kita malu sebagai manusia, yang selama ini menghasilkan banyak karya cipta, penghancur alam dan manusia lainnya? Sudahkah kita kemudian bisa berendah diri atas kuasa diluar diri kita?

Saatnya Manusia Mengalamkan Alam

Semenjak Revolusi Industri di abad XVII, di mana manusia modern menemukan cara-cara baru untuk mengkonversi energi dan barang, terutama sifat ketergantungan manusia dengan ekosistem alam, semenjak itu pula manusia merasa paling berkuasa atas alam.
Hutan-hutan digunduli, sungai-sungai dibendung, rawa-rawa dikeringkan, bukit dibelah dan dikeruk, sementara gedung-gedung pencakar langit dibangun. Dunia dicetak oleh manusia agar sesuai dengan kebutuhannya. Saat itu pula, spesies-spesies di luar manusia di ambang kepunahan. Bumi yang sebelumnya hijau dan biru menjadi jajaran beton dan plastik yang bertebaran.
Pada taraf tertentu pencapaian manusia modern sangatlah mengagumkan karena di abad inilah apa yang tidak pernah dibayangkan di abad sebelumnya bisa terjadi dan memungkinkan dilakukan. Hubungan antar manusia, yang sebelumnya direpotkan dengan jarak, sekarang dilipat dengan transportasi-transportasi massal dan segenggam gawai di tangan.
Namun, jauh dari perhitungan manusia, kemudahan-kemudahan yang diraihnya saat ini juga memakan korban yang amat menyedihkan. Apa yang dibayangkan dengan kemajuan manusia modern justru memakan tumbal akibat ulah yang dilakukan.
Youval dalam Sapiens menyebutkan, “Sungguh, kehancuran ekologis mungkin membahayakan Homo sapiens sendiri, yang masih bertahan. Pemanasan global, naiknya permukaan laut, polusi yang menyebar luas semakin bumi tidak bisa dihuni oleh jenis kita, dan konsekuensi dari itu semua akan ada adu kecepatan antara manusia dan bencana-bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia”.
Semakin manusia menggunakan kedigdayaannya untuk menghadapi kekuatan alam dan berusaha sekuat tenaga untuk menundukkan ekosistem hanya untuk memenuhi hasrat kebutuhan dan keinginannya, maka semakin banyak pula efek samping yang muncul dan sulit untuk diantisipasi. Itu bisa kita lihat saat ini. Saat ketika relasi antar manusia berubah karena adanya etika kapitalisme dan konsumerisme yang menjadi madzhab berpikir dunia saat ini, kita — manusia — dihadapkan pada organisme kasat mata bagian dari alam semesta dan kita tak bisa apa-apa.
Semua orang di seluruh dunia dihebohkan. Segala cara dilakukan untuk membendung wabah ini. Namun, sampai saat ini, tidak ada satu pun manusia yang mampu dengan pasti mengetahui kapan wabah corona ini akan berakhir. Para ahli pun hanya bisa menduga, kemudian saling menganjurkan untuk saling jaga diri.
Salah satu obrolan serambi pesantren terkait kacaunya situasi saat ini menyebutkan, di balik peristiwa yang paling bersejarah saat ini, semuanya menjadi korban. Tidak seperti bencana alam biasa yang hanya menyasar di satu wilayah tertentu, sehingga wilayah yang lain bisa saling membantu dan saling menopang. Di tengah pandemi saat ini, solidaritas — yang biasanya obat mujarab mengatasi waktu krisis — justru dilarang. Doa-doa yang semestinya menghibur lara pun dibatasi. Sehingga, kembali ke diri sendirilah yang bisa kita lakukan saat ini.
Ketika kita renungi, mungkin alam ingin membersihkan dirinya sendiri dengan adanya wabah ini dan mengajari manusia — yang selama ini lupa dan banyak menyakitinya — bagaimana caranya menghormati dan selalu mengalamkan alam sebagaimana mestinya.
***
Referensi:

Foto: pixabay.com
Editor: EYS

About the Author

You may also like these