Membicarakan kabupaten Pati tidak lengkap rasanya kalau tidak membahas tokoh-tokoh ulamanya. Nama-nama ulama yang masyhur seperti Mbah Mutamakin, Mbah Ronggo Kusumo, hingga generasi setelahnya KH. Bisri Syamsuri, Mbah Salam Kajen, Mbah Mahfud, sampai ke KH. Abdullah Salam, KH. Suyuti Abdul Kadir Guyangan, sampai KH. Sahal Mahfud Rois Am Nahdhatul Ulama yang masih dapat kita rasakan getaran kharomahnya hingga saat ini.
Namun, sering kali terlewat dalam pembahasan mengenai keberadaan tokoh ulama di Pati, yaitu Syekh Jangkung atau yang akrab di panggil masyarakat dengan sebutan Mbah Saridin yang sering dimaknai namanya (sari yang berarti “inti”, dan “din” berarti agama). Salah seorang ulama yang hidup sekitar abad XVI hingga XVII, makamnya diyakini berada di sekitar lereng pegunungan Kendeng Desa Nglandoh, kecamatan Kayen, Pati. Keberadaan tokoh ulama yang satu ini memang kontroversial, cerita-cerita unik yang masih lekat dalam ingatan kolektif banyak masyarakat di Pati, menjadikan tokoh ulama ini bisa dikatakan sebagai pembentuk identitas kultural masyarakatnya hingga saat ini.
Hal ini menjadi kenyataan yang tidak bisa dipisahkan dengan banyaknya cerita folklor yang masih tersimpan dan dapat ditemukan dalam alam pikir kebanyakan masyarakat Pati. Pentas ketoprak (sebuah drama teater masyarakat), yang sampai hari ini masih menjadi seni tradisi yang eksis di tengah-tengah masyarakat hampir di seluruh wilayah Pati, juga menjadi salah satu instrumen kenapa cerita-cerita itu terasa abadi di ruang sosial masyarakat. Melalui pementasan ketoprak tersebut juga, tokoh Saridin layaknya hidup kembali memberi wejangan-wejangan penuh makna yang secara tidak sadar memberikan gambaran hidup ideal bagi masyarakat Pati.
Hingga saat ini personifikasi tokoh Saridin selalu diidentikkan dengan nilai-nilai keuletan, keberanian, dan keyakinan tauhid yang kuat kepada Allah, menjadi identitas bagi masyarakat Pati di tanah perantauan di mana pun ia berada. Untuk mengidentifikasi hal tersebut kita bisa dengan sederhana mencermati melalui ”repertoar” makna bahasa seperti “kabèh budi akalmu”, putuné Saridin, yang sering digunakan oleh banyak orang Pati dimanapun mereka ada. Kita bisa pahami ungkapan-ungkapan seperti itu sering kali digunakan untuk menggambarkan bagaimana spirit Saridin ada di setiap gerak laku orang yang meyakininya.
Realitas seperti itu, tentunya tidak serta merta tercipta dari ruang kosong. Namun ada proses sejarah yang panjang kemudian selalu direpetisi terus menerus. Di sisi lain faktor karomah seorang tokoh suci yang dekat dengan Tuhan, yaitu Mbah Saridin itu sendiri juga tidak bisa kita kesampingkan. Tetapi yang jelas ajaran-ajaran Saridin sebagai ulama yang menyebarkan ajaran Islam di daerah Pati telah mendarah daging pada masyarakat Pati.
Namun, anehnya seperti yang saya dapat rasakan sebagai orang yang tumbuh di mana tokoh Saridin ini ada. Ada semacam klaim entah dari mana dan sejak kapan itu ada, bahwa ada dua paradigma besar corak keberislaman masyarakat Pati yang ada korelasinya dengan keberadaan dua tokoh ulama yaitu Saridin di Pati Selatan, dan Mbah Mutamakin di Pati Utara. Kategorisasi melalui letak geografis ini membentuk cara pandang yang keliru mengenai corak keberislaman di Pati Selatan dianggap abangan, kemudian di Pati Utara lebih ke santri. Saya curiga paradigma seperti ini, memang dibentuk oleh kolonialisme yang sudah jamak kita ketahui.
Memang jika kita amati, ajaran-ajaran yang dimanifestasikan dalam beberapa sekuel cerita rakyat dari tokoh Saridin ini, tidak lain memang bukan ajaran formal keagamaan yang bentuknya fikih. Namun cenderung nilai-nilai tasawuf lebih kental untuk menangkap pesan-pesan yang diajarkan. Hal ini juga sebenarnya dapat kita rasakan dalam ajaran Mbah Mutamakin yang tersirat dalam serat cibolek yang melegenda itu. Jadi jelas klasifikasi yang banyak diamini oleh masyarakat Pati mengenai pemisahan di atas kita bisa tangkap maksud politisnya.
Mengenai tokoh Saridin ini sendiri, sebenarnya bentuk faktual mengenai tahun lahir dan keturunannya siapa, tahun meninggal sampai masa hidupnya, sampai hari ini saya sendiri belum menemukan informasi validnya. Banyak yang mengungkapkan keberadaannya di masa awal kerajaan Mataram Islam tepatnya di masa Sultan Agung. Seperti hasil penelitian salah satu mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sejarah Islam UIN Yogya dalam skripsinya, mengungkapkan bahwa keberadaan naskah asli yang menceritakan tokoh ini sampai hari ini memang tidak ditemukan. Sehingga untuk merekonstruksi sejarah yang ada, hanya menggunakan cerita lisan masyarakat yang sempat dibukukan kemudian dicetak banyak disekitar makamnya.
Terlepas dari itu semua, bukan pada validitas data historis yang membuat tokoh ini perlu kita kenang dan bicarakan. Tetapi relevansi nilai-nilai dan ajarannya serta dampak sosial yang ditimbulkannya, kiranya penting bagaimana kita membicarakan ulama yang satu ini.
Seperti yang digambarkan dalam cerita ketoprak yang masih melekat di ingatan saya, tokoh Saridin ini merupakan anak desa yang gemar mencari ilmu, ia melakukan perjalanan lelaku pengembaraan menyambangi para guru-guru spiritualnya seperti Sunan Kalijaga kemudian Sunan Kudus untuk mencari ilmu agama Islam. Pada periode ketika berguru pada Sunan Kudus terjadi cerita yang menggambarkan bahwa Saridin merupakan murid yang tidak bisa membaca Al-Quran sendiri di antara murid-murid yang lainnya. Dia dikesampingkan oleh teman-teman seperguruannya, bahkan dicampakkan, kemudian Saridin hanya disuruh untuk mengisi padasan tempat wudhu terus-menerus hingga tak sempat belajar baca tulis Al-Quran. Kondisi tersebut tidak lantas mengecilkan hatinya, berbekal dengan ajaran-ajaran Tauhid keyakinan penuh pada Allah SWT yang menjadi jimat dalam aktivitasnya. Ia secara mengejutkan dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan ajaib. Hal tersebut sontak juga mengagetkan Sunan Kudus dan murid-muridnya. Dalam cerita ini ada persaingan yang menyimpan ajaran-ajaran Tauhid yang dilakukan oleh Sunan Kudus kepada Saridin sebagai santrinya.
Dalam konteks cerita di atas saya memahami Mbah Saridin sendiri adalah orang sakti yang ngerti sakdurungi kineruh, bisa menyembuhkan orang, sampai melakukan tindakan di luar nalar manusia. Hingga di banyak cerita dalam ketoprak tokoh ini melakukan penyebaran agama Islam melalui karomah-karomah yang dimilikinya. Hal tersebut juga bisa ditelusuri jejaknya di beberapa desa di Pati yang masih menyimpan cerita lisan terkait proses penamaan persinggahannya dan proses penyebaran ajarannya.
Banyak cerita lain sebenarnya yang menggambarkan tokoh ulama yang satu ini. Terlepas benar-tidaknya cerita tersebut, cerita-cerita yang su
dah menubuh dan menjadi tauladan di tengah masyarakat Pati ini, sudah dimaknai dampak positifnya dengan ajaran-ajaran yang ada masyarakat Pati semakin tahu identitas kulturalnya dan mengerti posisi kehambaannya itu sendiri. Huallahualam, bishoaf.