Lockdown Lahir, (un)Lockdown Batin

Lockdown Lahir, (un)Lockdown Batin

Kira-kira pukul sepuluh malam pada Senin pertama bulan Juli 2018, dua orang ahli selam Britania Raya muncul dari permukaan air yang keruh. Mereka tiba di sebuah ceruk gua gelap gulita yang hanya beroleh sinar dari senter selam di tangan dan kepala, setelah menjelajah sedalam empat kilometer dari mulut gua yang banjir oleh luapan sungai bawah tanah.

Di hadapan mereka nampak 12 orang anggota klub sepakbola remaja Celeng Liar dan seorang pelatih mereka. Tubuh-tubuh kurus dan lemah, mata-mata kuyu yang terlalu lama tak melihat cahaya. Tiga belas manusia malang itu telah ter-lockdown dalam pekat ceruk gua Tham Luang di ujung utara Thailand sejak sembilan hari sembilan malam sebelumnya.

Tak bisa bergerak ke mana-mana lantaran terjebak arus air deras sungai di dalam gua. Tak makan minum apa-apa sebab perbekalan yang mereka bawa hanya cukup untuk makan minum bersama semalam saja. Terputus kontak sama sekali dari dunia luar. Mereka hanya mampu mengusir dahaga dengan aliran air di dinding-dinding gua.

Richard Stanton dan John Volanthen, kedua penyelam yang seumur hidupnya bergiat dalam aksi-aksi penyelamatan gua di lembaga mereka British Cave Rescue Council (BCRC) takjub pada pemandangan di depan mata mereka. Bagaimana mungkin 12 orang remaja dan seorang pemuda mampu bertahan hidup — sekaligus menyambut kedatangan tim penyelamat dengan semangat — setelah lebih dari 200 jam tertahan di dalam penjara alam itu?

Sembari mengenakan selimut alumunium dan memakan ransum yang dibawa tim penyelamat, para penyintas itu, dengan daya tubuh masih sangat lemah, bercerita sepotong-sepotong. Selama sembilan hari tanpa cahaya yang baru saja mereka lewati, si pelatih mengajari mereka bermeditasi. Nampaknya, Ekapol Chanthawong, pemuda 25 tahun yang sebelum melatih klub Celeng Liar kebetulan pernah menjadi biksu muda, berhasil menenangkan batin dan menjaga stabilitas mental dua belas anak didiknya dengan mengajak mereka bertapa.

Di tengah ratusan jam kegelapan, tiga belas lelaki hijau itu duduk diam dalam keheningan, mengamati napas, menghemat energi, mengabaikan rasa takut mati, dan menjaga bara harapan hidup. Itulah formula yang kemudian mencengangkan seluruh tim penyelamat, orang-orang tua mereka, juga jutaan pengamat aksi penyelamatan dari seluruh penjuru dunia.

Dengan latar belakang kultur Buddhisme mereka, patutlah kita mengira bahwa sepanjang masa lockdown itu mereka tak berzikir layaknya para salik yang tengah berkhalwat. Mereka tak salat ataupun melantunkan salawat sebagaimana dibiasakan oleh para ahli tirakat. Mereka tak menyebut nama-nama para wali seperti halnya para ahli ziarah.

Lebih jauh lagi, kaum Buddhis aliran Theravada yang mendominasi Thailand dan Myanmar tak mengakui keberadaan dewa-dewi maupun orang-orang suci sebagaimana kita kenal dari film-film maupun cerita. Singkatnya, mereka tak punya siapa-siapa untuk memohon keselamatan maupun ampunan. Dalam semadi panjang itu, mereka hanya menyelam ke kedalaman batinnya sendiri-sendiri.

Maka pada masa-masa sulit di tengah pandemi COVID-19 ini, tak pantaskah saya tak habis pikir, bagaimana mungkin kaum beriman, kaum bertuhan, kaum yang memiliki objek doa dan jangkar pengharapan bisa sepanik ini menghadapi situasi?

Jika secara publik para pemangku wilayah mulai menyerukan agar kita lockdown di tempat tinggal masing-masing, tidakkah semestinya kita menerapkan unlockdown atas khawatir, waswas, kesombongan atas pengetahuan, kemurkaan atas nikmat usia, untuk kemudian berserah sepenuhnya pada Ia yang seratus persen berhak menentukan takdir kita?

***

Catatan:

Makna Sayur Lodeh, Doa Warga Jogja Di Saat Pageblug Corona

Sebagai warga yang berdomisili di Yogyakarta, penetapan kota ini menjadi salah satu kota yang sudah terdampak penyebaran viru Corona membuat saya was-was untuk keluar rumah. Pemerintah telah menganjurkan  social distancing untuk memperlambat penyebaran dan  menghindari banyaknya korban. Namun ada yang unik dan menjadi perehatian saya berkaitan dengan anjuran warga Jogja untuk mamasak sayur lodeh yang berisi terong, kluweh, daun sho, juga kacang klewer dalam masa pagebluk (wabah penyakit) seperti sekarang ini. Anjuran tersebut disampaiakan oleh pihak Keraton Yogyakarta sebagaimana muncul di media-media sosial. Saya tidak tahu sejauh mana anjuran tersebut memiliki kebenaran. Namun yang jelas anjuran tersebut mempunyai sejarah panjang bagi warga Yogyakarta ketika tengah menghadapi masa-masa sulit. Dalam penulusuran saya, anjuran tersebut memang pernah dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X di saat terjadi gempa Jogja tahun 2006 yang lalu. Jauh sebelumnya pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX anjuran tersebut juga pernah dikeluarkan. Informasi ini terkonfirmasi oleh banyak warga Jogja yang saya temui. Jadi, jika anjuran tersebut tidak benar adanya, ia mempunyai rekam jejak sejarah cukup panjang dalam ingatan kolektif masyarakat Jogja. Anjuran memasak sayur lodeh dengan segala pirantinya memang biasa kita lakukan. Tetapi menjadi berbeda ketika anjuran tersebut dikeluarkan oleh Sultan Jogja. Pertama, anjuran ini menunjukkan adanya situasi dan kondisi yang memang sulit akibat wabah penyakit yang bagi masyarakat Jogja disebut sebagai pagebluk. Keluarnya anjuran nasak lodeh ini merupakan bentuk doa keselamatan bagi masyarakat agar terhindar dari bencana. Seperti yang kita ketahui, mitologi masyarakat Jawa sangat lekat dengan pendekatan simbolis yang melibatkan unsur alam dalam upaya mereka memohon kepada Tuhan. Bagi orang Jawa unsur alam juga merupakan bagian dari mahluk Tuhan. Dalam salah satu ayat Al Quran juga disebutkan bahwa gunung dan tumbuh-tumbuhan juga bertasbih kepada Allah. Karena sebagai mahluk alam tidak diberi nafsu dan akal,  tugas alam hanya hanya menyembah Allah sehingga alam lebih taat daripada manusia. Hal ini berlainan dengan manusia yang diberi akal dan nafsu sehingga potensi  ingkar menjadi lebih besar.  Jadi tidak salah bagi masyarakat Jawa selalu mengunakan simbol-simbol alam dan tumbuhan seperti bunga setaman, pisang dan uborampe  lainnya, termasuk yang ada dalam sayur lodeh sebagai simbol doa dan kesucian itu sediri. Jika kita jeli, sesungguhnya pelibatan unsur-unsur alam tidak digunakan secara serampangan. Ada pemaknaan yang dalam, interpretasi yang kontekstual mengapa harus menggunakan berbagai syarat dan prasyarat. Misalnya kita bisa melihat dalam pembuatan sayur lodeh dengan beberapa pirantinya ini sebuah filosofi yang luhur . Kluwih bisa mempunyai makna kluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne, yang kurang lebih artinya adalah "dahulukan keluarga di saat kita berusaha." Cang gleyor bermakna cancangen awakmu Ojo lungo alias "ikat dirimu di rumah jangan berpergian" -- hal tersebut sesuai dengan anjuran pemerintah melakukan social distancing. Tidak ketinggalan terong bermakna terusno anggone olehe manembah Gusti Ojo datnyeng, mung Yen iling tok (lanjutkan di saat menyembah Gusti Allah, jangan hanya di saat ingat saja). Kulit melinjo,  Ojo mung ngerti njobone Ning kudu Reti njerone Babakan pagebluk (jangan hanya mengerti luarnya saja tetapi harus mengerti di dalam masa penyakit seperti ini). Sedang buah Waluh bisa bermakna dalam yaitu uwalono ilangono ngeluh gersulo (hilangkan perasaan mengeluh dan gelisah/panik). Godong so,  golong gilig donga kumpul wong Sholeh sugeh kaweruh Babakan agomo lan pagebluk (berdoa dengan penuh berkumpulah dengan orang saleh dan banyak pengetahuanya terkait agama dan prihal wabah penyakit ini). Dan yang terakhir  adalah Tempe, temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (bersunguh-sungguh dalam mendekat dan meminta pertolongan pada Allah). Dari keseluruhan telah kita coba dapati makna saur lodeh sebagai ekspresi doa masyarakat Jawa. Perwujudan bentuk-bentuk tumbuhan menjadi khasanah masakan yang secara tidak langsung membentuk nilai-nilai spiritual dan estetis. Dari sana anjuran tersebut bukan berarti sayur lodeh merupakan penangkal wabah corona,  namun hal tersebut menjadi sarana untuk berdoa dengan makna-makna yang lebih mudah diterima oleh pemahaman masyarakat agar wabah penyakit segera terlewati. Jika demikian halnya jalan yang ditempuh, menghadapi bencana corona dengan sayur lodeh juga selaras dengan anjuran agama Islam, yaitu untuk berdoa sesuai kemampuan masing-masing. Terkabul dan tidaknya doa tidak bisa dilihat dari bentuk ekspresinya melainkan keyakinan dan keiklasan rang yang menjalani serta, di atas segalanya, keputusan Allah yang Maha Pemurah dan Penyembuh. Pun, berdoa dengan sayur lodeh juga merupakan praktik mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan  social distancing, mengurangi aktivitas yang tidak penting di luar rumah dan selalu menjaga kesehatan untuk menghambat laju perluasan virus corona. Dari itu semua, jika kita sepakat bahwa semua musibah datangnya dari Allah, berdoa dengan sunguh-sunguh juga menjadi bagian penting yang perlu terus diupayakan.