Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2)

Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2)

Kelanjutan: Seni yang Membosankan (1) Pagi itu matahari bersinar hangat. Sofia, yang kesadarannya mulai pulih dari mimpi, dihampiri pikiran-pikiran yang ganjil: ia ingin menjadi cangkir teh yang sedang ia nikmati, atau bunga yang tengah ia pandang, atau pintu rumahnya yang berwarna putih. Mereka semua, pikir Sofia, menjalani takdirnya tanpa beban kesadaran dan rasa ingin tahu yang kadang terasa menyiksa dan melelahkan. Hidup tanpa kesadaran, walau hanya sejenak, merupakan jeda yang memberi kesadarannya beristirahat. Dalam kesendiriannya, Sofia seringkali merasakan, bahwa segala sesuatu tidak cukup dengan hanya diketahui nama-namanya, kegunaan-kegunaannya, serta macam-macam teksturnya—yang lembut dan kasar, yang berulir dan berpotongan. Dunia ini bisa menjadi milik manusia ketika telah menjadi pengalaman dan perasaan. Kadang Sofia berpikir, agar proses itu berjalan lebih mudah, sebaiknya segala sesuatu juga seperti manusia, yang memiliki hati untuk merasakan dan menghayati takdirnya: bunga-bunga senantiasa bermeditasi seiring perkembangan bentuk dan warnanya, pula sungai dengan arus dan bebatuannya, kursi dan jendela dengan kekuatan kusen-kusennya, cangkir dan madu, angin dan jalan-jalan yang lengang, langit dan bumi... Pikiran semacam itu telah menuntut Sofia untuk menghayati segala sesuatu dalam setiap detiknya hingga ia sering kelelahan sendiri. Ia biasa mencari pertolongan dengan mendengarkan lagu, menikmati lukisan, membaca puisi, atau sekedar berdoa. Ia berharap semoga Tuhan bisa memberi jiwa bagi alam dan segala yang ia temui, bisa saling bicara dengan nada yang lembut tentang perasaan-perasaan masing-masing, serta pengalaman-pengalaman mereka yang luar biasa. Apa yang dikatakan oleh gerimis tentang setiap butirnya yang pecah sesampainya di bumi? Bagaimana bunga membentuk serat-seratnya yang penuh misteri? Adakah angin menyadari hembusannya yang gaib dan kadang mengandung bahaya? Sofia meminum tehnya sekali lagi. Matanya berbinar-binar dipenuhi pengalaman pagi itu. Sinar matahari yang cerah telah memandikan rambutnya yang bergelombang dan kemerahan, hampir sepadan dengan mawar dan senja. Sementara bunga-bunga di kebun rumahnya menampakkan gairah embun semalam, disapu angin yang lembut dan sinar matahari yang melukis bayang-bayang mereka pada permukaan bumi. Ini sebuah lukisan, pikir Sofia, tersenyum simpul. Begitulah. Jika sudah berhasil merasakan hidup dan mengalaminya, ia akan lupa tentang betapa berat usahanya untuk selalu demikian dalam setiap waktu yang dilalui. Ia tak ingat lagi bahwa beberapa saat lalu baru saja ingin menjadi sebuah cangkir. Sofia lahir dan tumbuh dalam keluarga kecil yang penuh fantasi. Ibunya adalah seorang wanita yang halus dan sopan, suka memasak roti dan peerkedel dan penuh petualangan serta pencarian di masa mudanya. Sedang ayahnya adalah seorang perancang bangunan yang menyukai musik dan pemandangan alam. Tumbuh dari kedua orang tua demikian, Sofia menjadi pribadi yang halus, pelamun, dan sering mengalami penderitaan besar akibat hal-hal kecil. Suatu kali ayahnya mengganti loteng rumahnya yang mulai keropos dengan gaya yang berbeda. Sofia merasa bahwa jiwa rumahnya tak akan bisa bersatu dengan jiwa dari model baru yang dibuat ayahnya. Memikirkan hal itu, ia merasa sedih selama berhari-hari, dan baru bisa naik ke lantai dua rumahnya beberapa bulan setelah peristwa itu. Di masa remajanya, ayahnya sering mengajak Sofia jalan-jalan keliling kota dan perdesaan  dengan mengendari sepeda motor. Sesekali berhenti di sebuah warung di tepi sawah atau sungai. Jika memungkinkan, ayahnya akan mengajaknya menonton konser atau film di malam hari. Namun, ia paling suka membaca buku di lantai dua sambil sayup-sayup mendengar ayahnya bermain gitar di ruang keluarga di lantai bawah. Sementara ibunya akan bernyanyi dengan ragu-ragu karena suaranya yang kurang mendukung serta tidak mengetahui betul liriknya. Bagi Sofia, itu adalah sebuah keindahan kecil yang lucu, dan seperti itulah hidup pada umumnya. Rumahnya merupakan rumah tua warisan kakeknya dari pihak ayah, seorang pedagang sepeda yang telah menutup usahanya karena anak-anaknya memilih usaha lain. Dibangun dengan gaya kolonial yang sederhana, dengan balkon atas menghadap ke arah jalan dan taman kecil di belakang rumah. Sofia suka mengamati bunga dan tumbuh-tumbuhan di taman itu, serta rumah sederhana di seberang gang yang tampak teduh dan bersahaja. Biasanya, pada sore hari seorang nenek akan duduk sendiri di beranda sambil menikmati teh yang disuguhkan oleh putrinya. Kadang, pada musim tertentu, tehnya akan ditemani sepiring buah jeruk selama berhari-hari—entah karena tidak pernah dimakan atau persediannya yang kelewat banyak. Bertahun-tahun kemudian, ketika mulai menginjak dewasa, ia mengenal keluarga itu. Nenek itu adalah seorang janda yang cukup bahagia. Mendiang suaminya adalah seorang tentara berpangkat rendah yang masih memberinya uang pensiunan. Tiga anaknya telah mandiri, satu orang menjadi tentara seperti ayahnya dan satu lagi menjadi perawat. Adapun si bungsu memilih tinggal di daerah asal ibunya—yaitu nenek itu—di lereng pegunungan di utara kota yang dikelilingi persawahan dan perkebunan jagung serta sayur-mayur. Kelak ibuku akan seperti nenek itu, pikir Sofia, melamun sendiri di beranda sambil minum teh. Dan mungkin dirinya juga, ketika kelak menjadi seorang nenek, pikirnya. Apa yang paling menakutkan baginya adalah manakala ia menjadi tua, terasing dan tak bisa merasakan hidupnya berlimpah perasaan dan pengalaman. Segala sesuatu yang ada di sekitarnya hanya bayangan benda-benda tak bermakna, tinggal bersama-sama dalam satu dunia tapi tak saling bicara dan mengerti. Tanpa penghayatan, manusia hidup hanya seorang diri, selebihnya cuma paras-paras alam belaka. Jika sudah berpikir demikian, ia akan segera pergi keliling kota, entah untuk menikmati lukisan di galeri yang sedang mengadakan pameran, menonton konser yang sedang berlangsung, atau sekedar minum kopi di sebuah kafe. Suatu kali, ia beruntung dapat menikmati konser pada sebuah galeri sekaligus, sehingga ia bisa menikmati musik dan lukisan pada saat yang sama. Malam itu, penyanyinya seorang pemuda dengan rambut ikal, hampir seperti patung David namun dengan rahang sedikit lebih kuat dan model pakaian yang agak ketinggalan jaman. Namun Sofia masih mengingat cahaya matanya, karaker suara dan permainan gitarnya, meski liriknya terlalu keras untuk ukurannya. Di ruang pameran yang ramai, ia menikmati lukisan-lukisan yang cerah, dengan garis-garis yang tegas menggambarkan figur-figurnya. Andai dibuat sedikit temaram dan lembut dengan mengambil warna yang matang seperti Widayat dan garis-garis halus serupa Henri Matisse mungkin akan lebih mengesankan, pikir Sofia. Seni sebagai gagasan hanya akan berakhir sebagai filsafat, agar menjadi kehidupan ia perlu mengandung banyak perasaan dan pengalaman manusia. Perjalanannya pada malam itu telah berhasil melupakan perasaan takut akan kehampaan dan keterasingan yang dalam. Ia bisa tidur lebih cepat tanpa perlu dibuat kantuk terlebih dahulu dengan membaca buku yang kurang disukai. Bagi Sofia, tidur merupakan peristiwa yang menegangkan. Ketika seseorang tidur, jiwanya akan bekerja tanpa kendali sehingga bisa berbuat semau sendiri; kurang lebih seperti binatang buas yang keluar dari kandang dan melarikan diri ke alam liar, menuju habitat alaminya yang primitif. Ia takut jiwanya akan bertemu dengan orang-orang yang terlalu besar seperti para nabi dan para pemimpin sejarah; jika mereka memberi perintah kepada jiwanya, tak ada pilihan selain menurutinya hingga terbawa di alam sadar nanti. Namun, yang lebih menakutkan adalah ketika jiwanya yang tengah lepas kendali itu bertemu dengan para moyang dari masa purba; mereka hanya saling menatap dengan perasaan aneh dan asing, tak bisa bicara karena pada masa itu manusia mungkin sudah memiliki kesadaran tapi bahasa belum ditemukan. Manusia saling bicara hanya dengan memandang dan memperhatikan satu sama lain, dan sebuah senyuman akan menjadi peristiwa besar pada masa prasejarah itu. Ketika terbangun, Sofia merasa lega. Ia tak bermimpi tentang apa yang selalu ia khawatirkan setiap kali menjelang tidur. Ia hanya mendengar irama sayup-sayup, nadanya mengngatkan pada pertunjukan musik dalam pembukaan pameran semalam ketika pemuda berambut ikal itu memainkan gitar. Tapi setelah bangun ia sadar bahwa nada yang ia dengar dalam mimpi berbeda dengan irama yang dibawakan pemuda berambut ikal itu, sedikit lebih syahdu dan lembut. Ketika terbangun, rupanya ayahnya sedang bermain gitar dan iramanya menyusup ke dalam mimpinya lewat saraf-saraf pikirannya yang masih aktif. Tapi bayangan tentang pemuda itu perlahan tumbuh dalam benaknya. Ya, dia bukan David karya Michaelangelo, tapi berbeda dengan David, ia bisa memainkan alat musik. Ia masih menikmati mimpinya ketika minum teh di taman belakang rumahnya, sambil menikmati matahari yang mulai hangat. Bunga-bunga yang masih basah oleh embun mulai bangun dari tidur panjang semalam, dan adakah mereka juga punya mimpi yang menakjubkan seperti dirinya? Jika Tuhan telah mengabulkan permintaannya agar segala sesuatu memiliki hati sebagaimana manusia, bunga-bunga itu bisa jadi juga bermimpi seperti dirinya, meski entah apa. Di tengah lamunannya, seseorang mengetuk pintu belakang rumahnya. Rupanya puteri nenek dari seberang gang hendak bertamu. “Ini, ada beberapa jeruk. Semalam keponakan datang dari pegunungan mengantar hasil panen,” katanya. “Jeruk dari kebun, segarnya. Terimakasih, Mbak. Salam untuk nenek, ya,” jawab Sofia. Bersambung...

Seni yang Membosankan (1)

Seni yang Membosankan (1)

Seorang pemuda dengan rambut ikal, bermata lebar dan dagu kuat—hampir seperti patung David, tapi dengan aura seorang pemuda dari pegunungan daripada pahatan seorang seniman legendaris—tenggelam dalam renungan tak biasa di beranda rumahnya. Ia telah mempelajari berbagai pendekatan dalam bermain gitar, memahami alat musik itu dalam berbagai bentuk dan bahannya, mendengarkan beragam suara yang dihasilkan para penyanyi terbaik dan menirunya, tetapi semua itu tak mampu menyelamatkan dirinya dari perasaan hampa yang tiba-tiba dialami seperti gelombang, tak henti-henti semenjak siang hingga menjelang senja. Rumahnya berada di lembah pegunungan utara kota yang masih sepi, dikelilingi persawahan dan ladang jagung serta sayuran. Mendiang ayahnya membangun rumah itu dengan gaya yang membingungkan, antara pondok untuk liburan, hunian tetap atau gudang beras. Tiang-tiangnya dari kayu kelapa yang dilindungi dengan cat minyak, jendela-jendela lebar untuk menangkap cahaya matahari, aliran udara dan wajah langit ketika tengah bulan purnama. Pada masa kecil, ia melihat rumahnya seperti pondok dongeng, namun sekarang ia tahu—seperti kata ibunya—rumahnya adalah rancangan paling indah untuk hunian dengan anggaran sangat terbatas. Cara terbaik menikmati rumah seperti itu adalah dengan berkebun, memelihara ayam dan kelinci, serta bermain musik dan, tentu saja, melamun tentang segala yang tiba-tiba tumbuh dalam pikirannya—seperti yang sore itu tiba-tiba menengelamkannya. Sambil memangku gitarnya layaknya seorang kekasih yang tengah rebah, perasaannya dibawa oleh angin menuju keharuan yang melemparkannya dalam perasaan sedih yang lembut. Ia pernah bermain musik bersama orang-orang dengan semangat yang sama, atau bermain sendiri membawakan lagu-lagu yang ia sukai, di berbagai pertunjukan dengan para pendengar baik yang penuh semangat atau yang sopan serta sedikit bermalas-malasan. Namun, semua itu tak memberinya perasaan bahagia sebagaimana yang diharapkan. Harus diakui, musik telah membawanya pada petualangan-petualangan yang menyenangkan. Ia bertemu dengan orang-orang menarik dan diliputi rasa penasaran di wajah mereka, dikelilingi para wanita yang mengharapkan cinta atau sekedar ciuman sederhana, serta pengalaman-pengalaman ceria melakukan pertunjukan di daerah-daerah yang tak terbayangkan—misalnya, bermain di atas sungai dengan panggung berupa jembatan dari bambu. Ia menikmati semua itu seperti minum kopi di pagi hari—kenikmatan kecil yang telah menjadi rutin dan perlahan-lahan hambar dan membosankan. Sore itu, tiba-tiba ia menyadari bahwa hal-hal yang tidak mendalam dan telah menjadi kebiasaan hanya akan diterima oleh orang-orang dengan kesadaran yang sama. Pada cahaya senja yang jatuh menyelimuti perbukitan yang mengitari kampungnya, ia menyaksikan bahwa bentuk-bentuk alam merupakan irama yang lebih abadi daripada musik yang selama ini ia mainkan. Ia lantas membayangkan berbagai pengalaman manusia dinyanyikan dengan irama-irama dari bentuk-bentuk itu: para petani sepulang dari ladang, seorang ibu yang tengah mengasuh anaknya yang masih bocah, seorang gadis yang sedang dilanda kasmaran untuk pertama kalinya, seorang bandit yang tengah kelelahan setelah melakukan pekerjaan yang sia-sia, seorang kakek tengah memasukkan ternak-ternaknya ke kandang. Ia teringat seorang teman dari masa kecilnya dulu yang suka memelihara kambing dan bercocok tanam. Temannya itu, seorang pemuda pendiam, memiliki mata lebar yang temaram, penyendiri dan menyukai perjalanan yang senyap. Suatu kali, ia mengunjungi pertunjukan musiknya pada sebuah galeri, menyalaminya dengan senyum ramah dan datar, namun tanpa memberi pendapat dan rasa kagum. Ia datang ke pertunjukan itu karena kebetulan sedang dalam perjalanan menuju rumah neneknya sambil membawa sekantung buah-buahan hasil panen. Pada saat itu, ia merasa temannya itu terlalu sederhana di tengah para pengunjung pertunjukan itu sehingga ia sedikit canggung menerimanya, tapi keramahan dan ketulusannya telah meninggalkan gema yang lebih kuat daripada semua nada yang telah ia mainkan pada malam itu. Dahulu, temannya tinggal beberapa ratus meter dari rumahnya, sedikit naik ke arah bukit dan jauh dari perumahan penduduk. Ia hidup bersama kedua orang tua dan seorang adik perempuannya yang suka membuat wadah dari anyaman bambu. Sejak lulus sekolah, ia mendengar kabar temannya itu pergi jauh untuk bekerja di kota besar, entah menjadi kuli bangunan atau sopir. Padahal ia adalah sosok suka belajar, terutama untuk pelajaran ilmu alam dan menggambar. Ia suka menghabiskan waktu selama berjam-jam sekedar untuk mencari rumus yang lebih sederhana daripada yang diajarkan agar bisa lebih ringkas menyelesaikan soal-soal.  Di masa remaja ia suka mengunjungi rumah temannya itu, terutama ketika musim burung telah tiba atau ketika kebun jeruknya tengah panen. Namun sejak pertemuan tak sengaja di galeri itu—lebih dua tahun lalu—ia belum pernah berjumpa dengannya lagi. Ia lantas berpikir bahwa alam bisa diterjemahkan menjadi musik melalui jiwa temannya itu; seorang manusia yang melakukan perjalanan demi melakukan pencarian yang alami daripada dorongan hasrat akan kepuasan atau penemuan sebuah gagasan yang besar. Namun memiliki jiwa seperti itu teramat berat bagi manusia yang telah dipenuhi bermacam keinginan dan rasa haus akan gairah serta pengakuan seperti dirinya. Renungannya sore itu hampir sampai pada perbedaan mendasar antara kesenangan dengan kebahagiaan selain bahwa kedua hal itu merupakan buah pengalaman daripada semata hasil penalaran. Perjalanan hidupnya sejak renungan aneh pada senja itu telah dihabiskan demi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benaknya. Ia lebih suka menyendiri di beranda rumah atau perbukitan sambil memandang hamparan persawahan dan perkampungan. Sesekali pergi ke tempat-tempat suci, berdoa dan berserah diri berkali-kali, menelusuri gang-gang kota dengan berjalan kaki seorang diri, memasuki warung-warung sederhana sekedar untuk melepas lelah dan mengamati kehidupan orang-orang yang bersahaja. Rupanya perjalanan dan kesendirian telah memberi kenikmatan tersendiri daripada sebelumnya, tetapi juga memberinya perasaan sepi dan asing yang amat dalam. Perlahan-lahan, teman-temannya telah melupakannya, permainan gitarnya tak lagi terdengar di kalangan pecinta musik kota itu, auranya saat berada di panggung juga telah terlupakan orang-orang. Jika beberapa dari mereka bertemu dengannya di jalan atau warung, mereka akan merasa telah menemukan sosok yang berbeda dari yang dulu pernah mereka kenal—hanya seorang pejalan kusut, sedikit aneh dan pendiam. Namun, ia mulai menikmati nasibnya itu; bahwa menjadi orang yang mengenal kehidupan adalah lebih bermakna daripada orang yang dikenal oleh kehidupan. Pada suatu malam yang telah larut ia pulang ke rumah setelah melakukan perjalanan keliling kota. Pintu rumahnya telah dikunci sehingga ia duduk sendiri di beranda. Langit malam itu begitu cerah, cahaya bintang yang jernih dapat disaksikan dengan jelas. Angin dari pegunungan berhembus lembut dan dingin. Ia mengambil gitarnya dan memainkannya perlahan. Tiba-tiba, di luar kuasanya, ia menangis sejadi-jadinya sambil terus memetik gitarnya dengan lembut. Ia tengah merasakan nada yang selama ini belum pernah ia dengar dan mainkan. Sebuah nada yang lahir bukan dari ingatan tentang music-musik lainnya, melainkan dari kesunyian batin yang telah dihidupi dengan bermacam renungan dan perjalanan yang panjang. Di tengah permainan gitarnya, rupanya ibunya membuka pintu perlahan dan duduk tak jauh dari puteranya. Barulah  ketika permainan gitarnya  jeda, ibunya bicara dengan suara pelan. “Tadi temanmu datang kemari,” kata ibunya. “Dia sempat menunggu beberapa lama tapi kemudian pergi lagi dan meninggalkan sesuatu buatmu.” Ibunya kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambil sebuah kantung. “Ini,” kata ibunya, Puteranya mengambil dan membuka kantung itu: beberapa buah jeruk yang telah masak--seperti yang ia saksikan ketika temannya mengunjungi pertunjukan musiknya. di galeri dan suguhan di rumahnya di kala kebun buahnya sedang panen. “Terimakasih, teman,” ucapnya, pelan. Bersambung : Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2) 

Sastra Profetik di Pinggiran Sastra Indonesia

Sastra Profetik di Pinggiran Sastra Indonesia

Sastra Indonesia di era tahun 60an tidak dapat terpisahkan dengan gaya realisme kerakyatan yang mempengaruhinya. Kekuatan ini terwadahi dengan adanya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang merupakan lembaga kebudayaan dari PKI. Aliran realisme kerakyatan tercermin dalam berbagai karya seperti puisi dan cerpen. Tokoh-tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer, A.S. Dharta, Agam Wispi, hingga Utuy Tatang Sontani. Meraka menyuarakan realisme kerakyatan melalui karya-karya sastra dan memang bersifat propaganda. Disisi lain, sastra beraliran humanisme universal menjadi tandingannya. Goenawan Mohammad, Satya Graha Hoerip, sampai Taufiq Ismail merupakan tokoh-tokoh dari aliran humanisme universal dengan semangat dan ikatan sikap yang sama di dalam Manikebu (Manifes Kebudayaan).

Titik perubahanpun terjadi, dengan adanya peristiwa G 30 S (Gerakan 30 September) di tahun 1965, dengan penculikan para jendral petinggi tentara Indonesia. Peristiwa G 30 S dianggap menjadi pemberontakan terhadap negara yang didalangi oleh PKI, tak mengherankan gerakan realisme kerakyatan disemua bidang terhapus lenyap dalam sekejap, salah satunya di bidang sastra. Ada peristiwa penting dalam perjalanan Sastra Indonesia setelah 1965, dengan kemunculan Majalah Horison di tahun 1966. Majalah Horison menjadi media ekspresi estetik para sastrawan anti-komunis juga mahasiswa yang menyatakan diri sebagai Angkatan 66. Hampir semua redakturnya adalah para penandatangan Manikebu seperti H.B. Jassin, Arief Budaiman, Zaini, Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto. Cerpen-cerpen yang terbit di Horison antara 1966-1970 sangat dipengaruhi oleh gagasan humanisme universal.

Pada masa 1970an, kemunculan seniman Danarto dalam dunia sastra memberikan pengaruh besar dan juga menjadi pelopor tema-tema sufistik dan realisme-magis. Danarto memiliki gaya yang membaurkan antara realisme dan surealisme dalam sastra. Aliran ini mementingkan aspek bawah sadar manusia dan non-rasional dalam penggambarannya. Aliran realisme magis dan sastra sufistik dari Danarto terus berkembang dan mempengaruhi sastra Indonesia hingga masa 90an. Pengaruh keadaan politik dan ekonomi di akhir masa orde baru membentuk sastra Indonesia ke arah yang berbeda. Peristiwa krisis moneter dan keruntuhan orde baru hingga pelepasan Timor Leste menjadi latarbelakang yang diangkat dalam sastra, terutama novel. Kekerasan akibat perang, penculikan aktivis oleh pemerintah disuarakan oleh sastrawan seperti Leila S. Chudori dan Seno Gumira Ajidarma. Namun, ada yang perlu kita tengok direntetan waktu setelah reformasi hingga kini, ada Sastra Profetik yang digaungkan oleh Kuntowijoyo.

Sastra Profetik diungkap pertama kali pada tahun 2005 dengan judul “Maklumat Sastra Profetik” bersamaan dengan karya-karya obituary Kuntowijoyo di Majalah Horison edisi No. 5 Mei 2005. Argumentasi dan pemahaman kesusastraan Kuntowijoyo yang terangkum dalam “Maklumat Sastra Profetik” belum banyak mempengaruhi sastrawan, penulis, hingga pembaca sastra. Sejak tahun 80an, Kuntowijoyo telah membangun kerangka gagasan tentang sastra profetik untuk melawan arus dehumanisasi dari dampak negatif modernisasi. Sastra profetik mengedepankan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendesi. Ketiga nilai tersebut merupakan interpretasi dari amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahi munkar (mencegah kemungkaran), dan tu’mina billah (beriman kepada Tuhan).

Nilai humanisasi disuarakan sebagai wujud perlawanan terhadap dehumanisasi akibat dari era modernisasi. Era modernisasi membentuk dan memunculkan fenomena-fenomena seperti manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan juga budaya massa. Nilai liberasi dalam maklumat sastra profetik menyuarakan tentang penindasan dan ketidakadilan yang dilihat dari sejarah Indonesia. Rekaman kelam sejarah yang dialami masyarakat Indonesia dari (1) penindasan politik atas kebebasan seni setelah 1965, (2) penindasan negara atas rakyat di masa orde baru, (3) ketidakadilan ekonomi, dan (4) ketidakadilan gender.

Sedangkan mengenai transendensi ialah kesadaran berketuhanan yang mewujud dalam kesadaran bermakna apa saja. Bahkan Kuntowijoyo menyebut sastra profetik adalah senjata budaya orang beragama untuk melawan materialisme dan sekularisme yang tersembunyi.Sastra ialah endapan pengalaman. Sekiranya itulah salah satu yang menjadi wujud Kuntowijoyo dalam konsep sastra profetik. Karya sastra merupakan strukturalisasi dari imajinasi, nilai dan pengalaman. Bagaimana arah sastra Indonesia hari ini setelah kita memiliki endapan pengalaman dan dinamika yang bergitu panjang? Kuntowijoyo telah mencoba meraba dan memberikan gagasannya setelah mengalami dan mengikuti zaman sejak tahun 1943 hingga 2005. Sastra hari ini perlu menengok ke dalam kembali, bercermin dan menziarahi ilmu-ilmu yang lama sudah terkubur dan terpinggirkan oleh arus globalisasi.

 

Akankah Kiamat Segera Tiba

Akankah kiamat segera tiba Ketika lapisan ozon menipis Kemarau berkepanjangan Penyebaran wabah mematikan Kitab-kitab suci disalahtafsirkan Gerak kerak bumi Tak lagi bisa diprediksi Akankah kiamat segera tiba Sementara angin utara Masih berhembus pada jalannya Planet-planet belum semuanya diberi nama Pengemis masih mengetuk Pintu rumah. Dan sebuah bunga Hendak mekar 2018