Kinahrejo, suatu pagi.
Sesuai janji sore tadi, dan atas ajakan seorang teman, malam ini pukul 23.00 aku hendak ke rumah Mbah Suketi. Aku bergegas mandi, seusai bermain badminton di Gor Balai Desa Dusun Gandok. Setiap malam Minggu, aku bermain badminton bersama bapak-bapak warga dusun Gandok. Ada juga beberapa teman mahasiswa dari UNY dan UGM.
Dusun Gandok adalah dusun tempat sekretariat HMI UNY berada, sebuah perhimpunan mahasiswa Islam di UNY. Jadi, selain akrab dengan teman-teman HMI, aku cukup akrab pula dengan warga dusun sini. Aku sendiri sebenarnya bukan anggota HMI, namun aku nyaman bergaul dengan mereka: bermain bersama, bertukar pikiran, bercengkrama, masak dan makan bersama, lalu menginap hingga lupa hari.
Pukul 23.00, sambil menunggu teman-teman lain yang belum datang, sediakalanya kami bercerita saja di beranda. Semilir aroma tanah basah seusai hujan menambah gelap malam ini. Mas Bambang dan Mas Baizal yang datang dari Semarang hendak ikut juga. Mereka berdua adalah senior HMI. Mas Bambang setiap akhir pekan pulang dari Semarang ke Yogyakarta, rehat dari pekerjaan hariannya di jasa keuangan Bank Mandiri. Seringkali ia mengajakku main, sekedar nongkrong di kedai atau keliling kota.
Tak berselang lama, dua orang datang menghampiri. Rupanya mereka teman Abe Bangkong yang sedang berada di sampingku. Namanya Aegis dan Haris. Aegis anak Kebijakan Pendidikan FIP UNY, keduanya mahasiswa aktif dan bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa UNY.
Sekitar pukul 00.10 malam, kami berangkat menuju rumah Mbah Suketi, lokasinya di lereng Merapi penghujung Desa Kinahrejo. Sebuah desa yang tidak tertera dalam peta Babad Tanah Jawi. Desa ini pula yang diceritakan dengan cukup menarik oleh seorang Indonesianis asal Jerman, Elizabeth D. Inandiak. Dalam novel fiksinya yang berjudul Babad Ngalor-Ngidul, Elizabeth bercerita;
“Sabtu 23 Oktober 2010, lava dari kawah Merapi mulai mengalir ke Kali Gendol. Di Dusun Kinahrejo tidak ada orang yang memperhatikan gejala alam itu. Kecuali Bu Pujo yang tampak gelisah. Suaminya malah keluar rumah karena Bu Pujo mulai ngobrol ngalor-ngidul lagi. Hanya si perempuan waskita ini yang masih bisa (berbicara) bahasa purba itu. Sesudah kematiannya dalam letusan, siapa lagi akan ngomong ngalor-ngidul?”
Ngalor-ngidul dalam istilah bahasa Jawa kini lazim diberi makna tutur yang tak tersambung, ngaco belo, pertanda ketakwarasan akal. Namun, Elizabeth justru memperlihatkan ngalor-ngidul mengandung makna yang berbeda. Ia adalah percakapan mesra purbakala: antara yang di utara (lor) dan yang di selatan (kidul). Dalam konteks masyarakat Yogyakarta yang hidup dalam rengkuhan Laut Selatan dan Gunung Merapi, ngalor-ngidul tak lain adalah suatu hubungan timbal balik, saling bergantung tanpa henti, antara geleduk awan panas di utara dan gelora ombak laut di selatan.
Elizebeth mengutarakan terjadinya pergeseran makna kosmologis dan perubahan masyarakat lokal, melihat fenomena yang terjadi pra-pasca erupsi 2010. Masyarakat kini lebih percaya pada Bmkg ketimbang hubungan (langsung) kosmologi diri (masyarakat)nya sendiri. Percakapan ngalor-ngidul telah bergeser makna, bahkan terputus hilang tiada makna. Akibatnya, Kinahrejo kala itu menjadi desa terparah yang terkena dampak erupsi Merapi 2010.
Rumah Mbah Suketi berada di jalur pendakian Labuhan, jalur yang sudah ditutup pasca erupsi Merapi 2010. Rumah ini sudah seperti rumah bersama, rumah Indonesia di kalangan para pegiat alam, khususnya Mapala. Kebetulan aku tahu rumah Mbah Suketi, di saat Pendidikan Dasar (Diksar) Mpa Mahameru FIS UNY dua tahun lalu, dua tahun setelah aku masuk dan resmi menjadi anggota muda Mpa Mahameru, tahun 2017. Belakangan setelah Diksar usai, beberapa teman sering menyempatkan waktu mampir ke rumah ini. Dinding-dindingnya dipenuhi pitutur wejangan kehidupan dari para senior Mapala.
Kami melaju dari jalan Deresan, melalui jalan Kaliurang, hingga sampai di rumah Mbah Suketi pukul 01.35. Setelah melewati lembah kecil yang ditumbuhi kayu-kayu bambu, sebelum sampai di halaman rumah. Suasana cukup ramai, motor yang sudah terparkir berjejeran. Setelah melihat sedikit bercengkrama dengan salah seorang di antaranya, mereka adalah teman-teman Sispala dari pulau Sumatera. Kemudian, aku menuju rumah sebelahnya, rumah tempat Mbah Suketi tinggal. Nampaknya beliau masih bangun, dan menunggu kedatangan kami. Abe Bangkong sudah mengabarkan padanya mau singgah malam ini. Sejenak kami mengobrol, bertanya kabar dan keadaan. kemudian aku sambil istirahat sejenak. Di atap beranda itu masih terpampang tulisan “Universitas Merapi”. Meski kini, rumah ini sudah berdinding tembok dan beralas semen. Sapi besar yang terparkir di samping rumahnya sudah dijual, anjing (si manis) yang sempat mengikuti jejak-jejak kami saat diksar dua tahun lalu, kini sudah tidak ada pula, kabarnya mati.
Selang beberapa menit, kami ke belakang menuju spot camp. Berjalan kaki memasuki hutan terbuka, mulai memasuki area hutan lindung Taman Nasional Gunung Merapi, 20 menit kemudian kami sampai di lokasi. Kebun kopi yang menghampar luas. Kami menggelar matras untuk duduk menghangatkan suasana, malam menjelang pagi yang hening, sedikit berbintang. Suasana sendu malam, lalu lirih di sela-sela obrolan yang tercipta;
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya
Di sini kuberdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi
Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu di mana jawaban itu
Bagai letusan berapi bangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati
(Soe Hok Gie)
Angin malam cukup menusuk malam ini, kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah Merapi. Pertanda sepertinya akan turun hujan. Beberapa menit kemudian, Mas Faizal, Mas Bambang dan Riski masuk tenda untuk istirahat hingga Subuh hari datang nanti. Rencananya, pukul lima pagi mereka mau ke Kaliadem melihat matahari terbit. Sementara aku, Abe Bangkong, dan Aegis pulang kembali ke rumah Mbah Suketi. Melentangkan tubuh di sofa, hingga tertidur, lelah.
Dini hari ini, ketika matahari memberi tanda akan terbit
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Merapi yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Merapi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
Pagi hari aku terbangun sendiri, Ageis dan temannya masih tertidur pula. Abe Bangkong yang tidur di sofa sebelahku sudah tidak ada, berselang sepuluh menit kemudian mereka datang menghampiri. Nampak keduanya sudah pergi ke Kaliadem. Lima menit kemudian teman-teman yang camp di belakang datang berkumpul di sofa tengah rumah. Pagi pukul enam, kami bersepakat untuk mampir ke kopi Merapi. Kopi ini belakangan ramai pengunjung, bukan tanpa alasan, kedai ini cukup menarik perhatian karena titik lokasinya terhampar bentangan Merapi hingga puncaknya yang gagah. Jalan yang dilalui oleh mobil Jeep wisata Merapi, parkiran pasir dan kerikil yang luas, denah yang khas; ruangan kayu, bongkahan batu yang ditata menjadi meja dan kursi. Udara dan suasana di sini memang ramah untuk bercerita, cukup hening untuk menepi dari kebosanan harian dan arus cepat kota peradaban modern. (MA)