Tragisnya Makam Legenda Cinta Roro Mendut dan Pronocitro

Siapa yang menyangka makam tua tak terawat di tengah pekarangan warga di Kampung Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman itu adalah makam Roro Mendut dan Pronocitro?

Orang sekitar menyebutnya Makam Roro Mendut. Untuk bisa sampai ke makam itu, peziarah bisa masuk melalui Jalan Wonosari kilometer tujuh. Masuk ke arah kanan jika berangkat dari Kota Yogyakarta.

Jalan menuju makam mudah ditelusuri karena berada dalam lingkungan kampung yang telah maju. Namun, sesampainya di lingkungan makam akan tampak lanskap pekarangan yang tidak terurus. Pepohonan yang rimbun, juga rumpun bambu yang menaungi cungkup makam membuat situasi terasa singup.

Karena pemakaman umum Kampung Gandu terletak di lain tempat, maka di dalam area makam ini itu hanya ada satu cungkup dan satu nisan yang terbuat dari kayu jati tua, yaakni makam sepasang pecinta legendaris yang kisah asmaranya telah haru biru dalam ingatan kolektif orang Jawa. Meski memang tak sepopuler Romeo dan Juliet, tapi orang Jawa tak akan pernah lupa terhadap romansa cinta mereka yang indah sekaligus tragis.

Roro Mendut merupakan sosok wanita jelita yang berasal dari Kadipaten Pati di pesisir utara Jawa. Ia adalah wanita yang memikat banyak pria. Di antara pria-pria tersebut terdapat para pembesar, seperti Adipati Pergola dan Tumenggung Wiraguna.

Roro Mendut diboyong ke Mataram setelah pemberontakan yang dilakukan Adipati Pergo terhadap Sultan Agung di Mataram gagal. Nasib Roro Mendut yang menjadi selir Adipati Pergola tidak menjadi lebih baik meskipun ia telah dibawa ke Mataram. Di Mataram, Roro Mendut mendapat perlakuan serupa sebelumnya, yakni menjadi madu dari Tumenggung Wiraguna.

Syahdan, cinta sang tumenggung bertepuk sebelah tangan. Roro Mendut tetap teguh menolak meski berbagai cara telah dilakukan oleh Tumenggung Wiraguna untuk mendapatkan cintanya. Tidak sekadar dengan pendekatan yang halus, namun juga dengan pendekatan politik yang penuh paksaan. Sang tumenggung menetapkan pungutan pajak tinggi kepada Roro Mendut.

Dalam upaya melunasi pajak, Roro Mendut menggunakan kecerdikannya dalam membuat dan menjual rokok kretek. Kretek buatan Roro Mendut sangat laris di pasaran. Konon, salah satu kuncinya adalah dengan menggunakan air ludahnya sendiri sebagai lem perekat. Ia menjilat batang rokoknya terlebih dahulu sebelum diberikan ke pembeli.

Pendekatan “represi cinta” Tumenggung Wiraguna tidak mampu membuat Roro Mendut menyerah. Meskipun sang tumenggung semakin keras menghukum sang pujaan hati, Roro Mendut masih tegar dan memilih setia pada suaminya, Pronocitro. Baginya cinta bukan tentang kekuasaan namun kesetiaan.

Akhirnya terjadilah peristiwa yang amat tragis. Tumenggung Wiraguno menusukkan sebilah keris ke tubuh Pronocitro, namun keris itu malah tertusuk ke tubuh Roro Mendut yang tiba-tiba berusaha melindungi nyawa sang suami dengan memeluk tubuh Pronocitro. Mereka berdua tewas di tangan Tumenggung Wiraguna dalam posisi berpelukan, dengan sebilah keris menancap di badan. Jasad pasangan sehidup semati itu pun pada akhirnya dikubur bersama dalam satu liang lahat.

Oleh karena legenda ini adalah cerita tutur dari generasi ke generasi maka sudah sewajarnya memiliki banyak versi. Sejumlah versi mengisahkan bahwa Roro Mendut bunuh diri dengan keris Tumenggung Wiraguna begitu mengetahui bahwa Pronocitro sudah tewas terbunuh. Meski masih banyak varian kisah lainnya, yang utama bagi kita adalah dengan memetik nilai yang ada dalam tragedi asmara itu.

Sebangun dengan kisah tragis mereka, keberadaan makamnya pun demikian. Kondisi makam tidak terawat sebab tidak ada pihak yang mau mengambil tanggung jawab pengelolaannya. Situasi ini pula yang mengakibatkan makam tersebut sering disalahgunakan oleh oknum peziarah untuk menjalankan ritual yang menyeleweng dan menyimpang dari ajaran agama dengan dalih ngalap berkah demi memperoleh kekayaan dan penglarisan.

(Diolah dari beberapa sumber lisan dan tulisan)

About the Author

You may also like these