Umar Kayam Melakukan Kritik dengan Karya Sastra

Siapa yang tidak mengenal Umar Kayam? Selain dikenal sebagai sosiolog terkemuka dari UGM, ia juga dikenal sebagai budayawan, kolumnis, dan novelis yang berpengaruh. Kita tahu novel-novelnya sering dianggap sebagai cermin ketidakpuasannya terhadap pendekatan sosiologis para ilmuwan pembedah kebudayaan Jawa. Yang paling terkenal, ia mengkritik Clifford Geertz yang secara serampangan mendikotomikan antara santri versus abangan dan priyayi versus wong cilik.

Umar Kayam dikenal bangga dengan ke-abangan-an sekaligus keislamannya. Baginya, abangan merupakan manifestasi spiritualitas orang Jawa yang hebat. Karena itulah, konsep abangan tidak perlu dikaitkan dengan keberagamaan seseorang. Selain itu, menurutnya, abangan adalah sebuah produk transformasi sosial yang lembut dan tidak menimbulkan gejolak sosial yang hebat.

Dalam novelnya yang berjudul Para Priyayi, dalam beberapa catatan, para pengamat sastra menyatakan bahwa novel ini ingin menepis kesimpulan yang dikeluarkan oleh ilmuwan Barat yang fixed — terutama Clifford Geertz — tentang dunia kaum priyayi.

Begitu pun yang dinyatakan oleh Daniel Dhakidae dan Emmanuel Subangun. Sebagai ahli ilmu sosial pada saat itu, mereka melihat novel Para Priyayi masih mendua; antara traktat ilmu-ilmu sosial atau karya fiksi belaka. Karena mereka berangkat dari ilmu sosial, otomatis mereka akan melihat dari sudut pandang itu. Melihat masyarakat dalam sistem dan kategori-kategori, kemudian dianalisis dengan perspektif sosialnya.

Padahal, bagi Umar Kayam sendiri, seorang novelis harus melihat kehidupan secara utuh. Ia sambil berjalan melihat ini apa, ini ada apa. Bahkan, seorang novelis menciptakan situasi, kemudian karakter tokoh-tokoh, untuk masuk lebih dalam lagi. Memang pada akhirnya tidak terkonvensi seperti ilmu-ilmu sosial. Karena itu juga, orang yang membaca dengan kerangka ilmu sosial cenderung untuk memasukkan tokoh-tokohnya ke dalam kategori ini dan itu. Melihat conflicting yang tidak logis. Ini berbeda dengan penulis sastra yang melihat keunikan-keunikan dari realitas manusia.

Terkait dengan Clifford Geertz sendiri, Umar Kayam menyatakan bahwa ia kenal betul dengan pribadi Geertz. Umar Kayam bahkan tidak segan mengatakan bahwa ia adalah salah satu pengagumnya. Tapi, di lain pihak, Kayam juga seorang penulis sastra. Dalam hal ini, ia merasa terombang-ambing berdiri di atas dua kaki. Walaupun begitu, ia terus berupaya menulis karya sastra. Salah satu hal yang membuatnya kecewa adalah saat membaca karya-karya ilmu sosial yang selalu terjebak pada “pemilihan”. Bagaimana seorang ilmuwan sosial beroperasi dengan konvensinya sendiri.

Biasanya, ilmuwan sosial memulai dengan mendudukkan session-session. Kemudian, membuat kategori-kategori. Dengan demikian, ilmuwan tersebut sebenarnya telah mereduksi banyak hal. Ini berbeda dengan penulis sastra. Walaupun melihat hidup ini seperti rumit sekali, para penulis sastra tidak memilahnya dan langsung masuk saja. Bahkan, menikmati kenyataannya.

Dari sana, jika novel Para Priyayi diklaim menghantam ilmu-ilmu sosial, Umar Kayam mengatakan itu bisa-bisa saja. Walaupun ia kagum dengan karya-karya Geertz, namun di sisi lain ia menganggap bahwa Geertz kurang cermat dalam mengantisipasi dunia priyayi. Bagi Kayam, priyayi tidak usah berarti bangsawan, juga tidak usah berarti kebatinan. Menurutnya, image seperti itu kurang tepat. Priyayi bisa jadi wong cilik biasa.

Mungkin, karena sekolah, mereka memperoleh kedudukan sehingga kemudian dianggap priyayi. Sehingga, sadar atau tidak sadar ia mengikuti konvensi priyayi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal-hal seperti inilah yang tidak muncul dan tercermin di dalam buku Geertz yang legendaris itu. Dari sisi inilah novel Para Priyayi bisa dilihat sebagai alternatif penjelasan bahwa priyayi itu bisa bermacam-macam.

***

Tulisan hasil saduran wawancara dengan Umar Kayam majalah Ulumul Quran 1993

Foto: ipihincow.com

Editor: EYS

About the Author

You may also like these