Usmar Ismail, Rakornas Lesbumi, Dan Jalan Kebudayaan

Siapa yang tidak mengenal Usmar Ismail, yang selama ini dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia itu. Pada Jumat (29/10/2021), tersiar kabar bahwa seniman kelahiran Minang tersebut dianugrahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Kabar tersebut tentu menjadi momen sepesial bagi keluarga besar Pengurus Besar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang mana di waktu bersamaan lembaga kebudayaan dan kesenian NU tersebut, sedang sibuk menggelar Rapat Kordinasi Nasional Kamis-Jumat 28-29/ 10/ 2021 yang ke 4 di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Bantul, Yogyakarta.

Mengenang Usmar Ismail seperti diceritakan oleh Kiai Jadul Maula ketua Lesbumi NU, bahwa ia mempunyai hubungan erat dengan Lesbumi. Karena ia tercatat sebagai salah satu ketua pertama Lesbumi pada tahun 1962, bersama DJamaludin Malik, dan Asrul Sani. Dalam beberapa catatan arsip Lesbumi, Kehadiran Usmar Ismail dalam tubuh Lesbumi pada saat itu memberi warna yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh banyak kalangan di luar organisasi NU. Karena sebagai lembaga keagamaan traditional, NU saat itu dikenal dan sering kali dianggap hanya sebagai kaum sarungan dan tidak banyak mengerti dengan perkembangan moderitas. Namun Lesbumi dibawah Usmar Islmail dan kawan-kawan, dengan kerja kesenian dan kebudayaannya ternyata mampu menampilkan karya-karya monumental dalam berbagai bidang seni, mulai dari sastra, seni pertunjukan, terutama film, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai puncak dari produk kesenian modern.

Beberapa karya film seperti, Pedjuang, Darah dan Doa, Tiga Dara, Enam Ejam di Jogya dan masih banyak lagi karya film-nya, belum lagi naskah drama dan sastranya. Semua bernafaskan spirit nasionalisme dan religiusitas. Selain itu karya film yang dihasilkan bisa dikatakan sebagai pijakan perfilman Nasional dengan menggambarkan gagasan cinta tanah air, membangun jiwa bangsa yang berkarakter dengan budaya masyarakat Indonesia.

“Dari hal itulah sudah sepatutnya Usmar Ismail mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional, atas kontribusinya dalam bidang kesenian dan kebudayaan Indonesia, “ Tukas Kiai Jadul Maula dalam sambutannya di konser Lesbumi Ensambel.

Selain itu, keberadaan Umar Ismail dalam tubuh Lesbumi merupakan respon NU ditengah  pergolakan politik tahun 60-an. “Para kiai sepuh, terutama waktu itu kiai Wahab Hasbullah dengan cerdas dapat menggandeng tokoh-tokoh modern dari Minang ini, untuk memberi tandingan atas ideologi politik dan kebudayaan yang ada saat itu ada seperti Lekra,” Ujar kiai Jadul Maula yang juga sebagai pengasuh Pondok Budaya Kaliopak Yogyakarta.

Ada dua faktor internal dan eksternal yang melatar belakangi berdirinya Lesbumi yang jelas hal ini tidak bisa dilepaskan dari dengan nama Umar Ismail. Pertama keluarnya manifesto politik pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, kedua pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia pada awal tahun 1960-an. Dan ketiga perkembangan Lekra 1950 sebagai lembaga kebudayaan yang menunjukkan semakin dekat hubungannya dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun dengan ideologinya yaitu materialisme sosialis.

Sedangkan faktor internal lahirnya Lesbumi NU berkaitan dengan momen budaya, yang bertujuan sebah lembaga kebudayaan yang dapat melestarikan dan memoles seni budaya yang dihidupi NU. Dan faktor penting lainnya adalah kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok kesenian tradisional dilingkungan NU. Kedua kebutuhan akan modernisasi seni budaya dalam hal ini Umar Ismail menjadi salah satu tonggaknya dalam tubuh Lesbumi.

Rakornas Lesbumi Menemukan Jalan Kebudayaan

Rakornas Lesbumi yang ke 4 sendiri, diadakan sebagai upaya menyongsong Muktamar NU yang ke-34 Lampung yang akan diadakan pada Desember nanti. Mengambil tema Tantangan, Global dan Kebuntuan Wacana Islam Nusantara, Lesbumi dalam pertemuan yang dihadiri hampir 120 perwakilan anak ranting, cabang, sampai pengurus wilayah ini, menjadikan Rakornas sebagai ruang konsolidasi nasional. Untuk mendesak PBNU menjadikan Lesbumi sebagai badan otonom (banom), seperti awal lembaga ini didirikan.

Karena seperti disampaikan oleh Kiai Abdullah Wong dalam poin-poin rekomendasi hasil rakornas, diantaranya menyebutkan bahwa keberadaan Lesbumi bagi NU merupakan garda terdepan untuk membumikan gagasan Islam Nusantara di tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketika NU yang mendaku sebagai penerus ajaran Wali Sanga, maka konsekuensinya NU mustahil alergi, apa lagi menafikan kebudayaan sebagai jalan dakwah. Karena itu juga sudah seharusnya NU berada di garda depan dalam menghimpun dan mengkonsolidasikan ragam gerakan adat istiadat, tradisi, dan budaya yang berbasis ketuhanan Nusantara.

Selain itu, bahwa keinginan untuk menjadi banom ini sebenarnya merupakan aspirasi kuat yang berasal dari pengurus wilayah, cabang, ranting dan anak ranting Lesbumi NU yang membutuhkan garis kordinasi, intruksi dan komunikasi yang lebih efektif dan efisien.

“sebagai lembaga otonom, Lesbumi dapat mengatur rumah tangga sendiri secara kebijaksanaan atau pun secara teknis strategis sesuai kebudayaan Lesbumi NU yaitu Saptawikrama (tujuh prinsip Kebijaksanaan kebudayaan),” demikian bunyi poin rakornas yang ditanda tangani oleh ketua Pengurus Pusat (PP) Lesbumi NU KH. M Jadul Maula dan Kiai Abdullah Wong sebagai Sekertaris Lesbumi NU.

Tidak hanya itu, selain semangat kuat dari semua pengurus, secara teknis sebenarnya Lesbumi juga sudah memenuhi sarat untuk menjadi banom NU. Karena ketersediaan dan penyebaran Lesbumi NU di berbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga di dukung pula oleh 70persen lebih para anggota Lesbumi NU di setiap tingkatan yang telah mengikuti progam Madarasah Kader NU.

Lesbumi sendiri dalam beberapa tahun ini juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tercatat, saat ini ada delapan pengurus wilayah, 118 pengurus cabang, 246 pengurus majelis wakil cabang, 303 pengurus anak ranting, dan empat  pengurus cabang istimewa yakni Rusia, Belanda, Riyadh, serta Western Australia (part).

Dalam rangka membekali wawasan kebudayaan berbasis tauhid kepada pengurus dan anggota, Lesbumi NU sejak Rakornas III telah memiliki wahana kaderisasi. Secara prinsip, wahana kaderisasi diselenggarakan untuk menjelaskan Saptawikrama. Wahana kaderisasi itu bernama Asrama Saptawikrama (Astawikrama) untuk seluruh tingkatan pengurus, serta Pesantren Ramadhan Islam Nusantara (Pramistara) utuk santri di pondok pesantren.

Karena di berbagai tingkatan telah membuktikan diri secara mandiri dan swadaya dalam melakukan percepatan organisasi serta administrasi, maka Rakornas V di Yogyakarta ini merekomendasikan kepada Muktamar ke 34 NU untuk mengabulkan agar Lesbumi kembali menjadi banom NU.

Karena NU sendiri secara subtansial didirikan bukan semata untuk menjawab problematika umat yang terkait masalah keagamaan, tetapi sebenarnya lebih luas dari itu. Menurut Lesbumi sendiri, NU hadir untuk menjawab persoalan umat dalam konteks Kebudayaan. Lesbumi berpandangan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya aset dari identitas bangsa Indonesia yang secara efektif dapat digunakan untuk melawan arus dan penetrasi global. Dalam hal ini, kebudayaan yang berasal dari sinaran tauhid. Dengan demikian, NU secara jamaah dan jamiyah adalah jalan kebudayaan yang berbasis ke tauhidan.

Rakornas sendiri ditutup dengan menampikan konser yang bertajuk Lesbumi Ensembel di Pendopo Kaliopak. Dengan menampilkan pentas musik kolaborasi Orkestra, Hadroh, dan gamelan Jawa untuk membawakan lagu Syair Tanpo Waton, dan Yalal Wathan hasil olahan komposer musik Dadang S. Piano dan Eki Santria. Kolaborasi tersebut merupakan bentuk dari upaya Lesbumi mendialogkan peradaban melalui pentas musik, yaitu alat musik dari Barat, Arab dan Nusantara.

About the Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these